🥳 Berita Tentang Penaklukan Jambi Oleh Sriwijaya Tertulis Dalam Prasasti
A Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang bukan saja dikenal di wilayah Indonesia, tetapi dikenal di setiap bangsa atau negara yang berada jauh di luar Indo¬nesia. Hal ini disebabkan letak Kerajaan Sriwijaya yang sangat strategis dan dekat dengan Selat Malaka. Telah kita ketahui, Selat Malaka pada saat itu merupakan jalur perdagangan yang sangat ramai dan dapat menghubung
PrasastiRajaraja I yang memiliki tahun 1030/31 Masehi dari Tanjore menceritakan kisah tentang penaklukan Cola atas Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan lain di sekitar Selat Malaka. Saat itu pemimpin
Penelusurandan perkembangan bahasa Melayu bisa dimulai dari pengamatan beberapa inskripsi (batu bertulis) atau prasasti yang merupakan bukti sejarah keberadaan bahasa Melayu di kepulauan Nusantara. Prasasti-prasasti ini mengungkapkan sesuatu dengan menggunakan bahasa Melayu. Prasasti-prasasti ini antara lain: 1. Kedukan Bukit (683 M), 2. Talang Tuwo (684 M), 3. Kota Kapur (686 M), 4. Karang
PDF| Srivijaya is a federation state in Nusantara on the 7th century AD. Dapunta Hyang as the first of Datu Sriwijaya, was first mentioned in the | Find, read and cite all the research you
KerajaanSriwijaya - merupakan salah satu kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang pernah berdiri di Pulau Sumatra. Kerajaan ini terletak di sekitar Palembang, ditepian Sungai Musi, Sumatra Selatan. Berdasarkan sumber sejarah mengenai bukti awal keberadaan kerajaan Sriwijaya beradasa dari abad ke-7, seorang pendeta Tiongkok dari Dinasti Tang, I
KERAJAANSRIWIJAYA. Sriwijaya adalah salah satu kerajaan maritim terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara pada waktu itu (abad 7 - 13 M). Sumber-sumber sejarah kerajaan Sriwijaya selain berasal dari dalam juga berasal dari luar seperti dari Cina, India bahkan Arab. Sumber-sumber dari dalam negeri.
REPUBLIKACO.ID,JAKARTA--Sejarawan Jambi, Fachrudin Saudagar, menegaskan adanya Tambo Adat Hiang Tinggi di kabupaten Kerinci akan sangat berguna jika diteliti untuk menguak asal usul Patih Gajah Mada dan posisi letak kerajaan Sriwijaya yang sesungguhnya.'Saya sebenarnya baru tahu tentang Tambo adat masyarakat Hiang di Kerinci ini. Karena itulah saya pikir Tambo ini sangat berguna dan layak
Jelaskantentang suku bangsa melayu, sabrina kvist jensen, siapa itu zikri daulay "Suku Melayu" - berita · surat kabar · buku · cendekiawan · JSTOR ( Pelajari cara dan kapan saatnya untuk menghapus pesan templat ini) Artikel ini perlu diterjemahkan dari bahasa Melayu ke bahasa Indonesia. Jambi, Riau, Kepulauan Riau, Sumatra
Kerajaan Sriwijaya memiliki banyak peninggalan bersejarah.. Tidak heran, Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan Hindu-Buddha besar di Nusantara. Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan bercorak Buddha yang didirikan oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa pada abad ke-7.. Kerajaan ini terletak di tepian Sungai Musi, di daerah Palembang, Sumatera Selatan.
. - Sriwijaya dalam historiografi Indonesia lebih dikenal sebagai suatu emporium maritim nan mapan. Menimbang pengaruhnya yang merambat ke berbagai pulau di Indonesia bagian barat, Muhammad Yamin kemudian menyebutnya sebagai Negara Nasional Jilid I. Yamin—juga para sejarawan pelanjutnya di zaman Orde Baru—juga menggabungkan sejarah Sriwijaya dalam satu wacana yang dikenal sebagai Persatuan 6000 Tahun Indonesia Agenda itu lantas dikritik oleh M. Wood dalam Sejarah Resmi Indonesia versi Orde Baru dan Para Penentangnya 2013. Wacana glorifikasi sejarah yang berlebihan semacam itu memang punya sisi negatif. Salah satunya adalah terpinggirkannya narasi-narasi kecil Sriwijaya yang juga penting untuk dipelajari. Misalnya, bagaimana penguasa Sriwijaya menyikapi barang psikotropika dan perilaku bermadat. Para datuk Sriwijaya adalah sosok yang gemar sekali mengutuk. Kutukan atau sapatha yang mereka lontarkan bahkan jamak tercatat dalam prasasti. Tengoklah beberapa prasasti tinggalan Sriwijaya yang ditemukan di daerah Palembang, Bangka, Jambi, dan Lampung. Namun, itu kutuk bukan sembarang kutuk. Kutukan yang disampaikan oleh datuk Sriwijaya umumnya berkenaan dengan hukuman bagi sesiapa yang melanggar aturan bermasyarakat atau mencederai kesetiaan kepada kerajaan. Termasuk salah satunya soal candu. Buktinya terdapat dalam Prasasti Kota Kapur dan Karang Brahi 686 M. Dua prasasti yang masing-masing ditemukan di Pulau Bangka dan Jambi itu memuat inskripsi berbunyi “Tathāpi savaňakňa yaŋ vuatňa jāhat. makalaṅit uraŋ. Makasākit. Makagīla. Mantrā gada. viṣaprayoga. upuḥ tūva. Tāmval. Sarāŋvat. ityevamādi. jāṅan muaḥ ya siddha. Pulaŋ ka iya muaḥ. Yaŋ doṣāňa vuatňajāhat inan. Tathāpi nivunuḥ ya sumpah...” Bila diterjemahkan, isinya akan berbunyi “Lagi pula biar semua perbuatannya yang jahat, seperti mengganggu ketentraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja, saramvat ?, pekasih, memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sebagainya semoga perbuatan itu tidak berhasil dan menghantam mereka yang bersalah melakukan perbuatan jahat itu, biar pula mereka mati kena kutuk.” Kata Melayu Kuno tāmval yang biasa diartikan sebagai ganja di dalam kedua prasasti itu berakar dari bahasa Sanskerta “tāmbala”. Kata tāmbala sebenarnya lebih merujuk pada olahan ganja yang disebut hasis, bukan ganja kering yang lebih sering ditemui di masa sekarang. Hasis merupakan bubuk daun ganja yang diolah hingga menjadi seperti adonan dodol. Para penggemar hasis di masa lalu mengonsumsinya dengan cara dibakar dan diisap menggunakan cangklong atau diuapkan melalui bong. Meski perilaku memadat dikutuk habis oleh raja-raja Sriwijaya, nyatanya kutukan itu tidak berlaku untuk semua orang. Ada golongan-golongan tertentu yang lepas dari larangan itu dengan alasan khusus. Ganja dalam Ritual Keagamaan Golongan khusus yang dimaksud kemungkinan adalah para penguasa dan pemangku agama. Pasalnya, bahan-bahan psikotropika sudah lama menjadi primadona bagi beberapa agama di dunia, termasuk agama Hindu dan Buddha yang sempat menjadi arus utama kepercayaan masyarakat Nusantara di masa klasik. Di India, olahan tanaman dari rumpun Cannabis itu sudah lama lekat dengan ritual keagamaan. Hal itu dapat dilacak dalam teks berbahasa Indo-Eropa tertua di anak benua itu, Rig-Veda. Menurut Mark S. Ferrara dalam “Peak-experience and the Entheogenic Use of Cannabis in World Religions” yang terbit dalam Journal of Psychedelic Studies 2020, praktek shamanisme dalam Rig-Veda sering menunjukan adanya simbolisasi dari proses kematian dan kebangkitan. Dalam proses itu, sang resi atau pendeta yang diagungkan menjalankan beberapa laku, seperti berpuasa, menahan hawa nafsu birahi, memanipulasi pernapasan, membaca mantra secara repetitif, dan mengonsumsi psikotropika. Karena ganja memang tumbuh subur di India, tumbuhan berdaun jari itu kemudian menjadi pilihan terdepan dalam upacara-upacara yang tujuan akhirnya adalah mencapai trance kondisi tidak sadar. Dalam ajaran Veda pra-Hindu, sambung Ferarra, dikenal istilah soma yang dianggap sebagai “makanan surgawi” yang bumbunya dirahasiakan. Setelah ditelusuri lebih lanjut, salah satu bahan utama soma adalah hasis. Soma disajikan kepada para resi sebelum upacara penyatuan manusia dengan para dewa unsur alam dilakukan. Para resi melakukan ritual ini demi terkabulnya pengharapan akan beberapa hal, seperti menangkal roh, menyembuhkan penyakit, mendatangkan kesejahteraan, dan membuka jalan keselamatan. Sementara itu dalam Buddhisme, menurut Ferrara, konsumsi ganja baru benar-benar terlihat signifikan dalam praktik esoteris Vajrayana atau Tantrayana yang berkembang di Tibet. Teks Tantrik tertua yang menyebut soal penggunaan ganja adalah Yogaratnamala. Teks yang diasosiasikan dengan guru besar Buddha Vajrayana Nagarjuna itu merekomendasikan adanya proses mengisap ganja untuk “meruntuhkan para musuh”. Konsep ini berkenaan dengan proses pembebasan penganut Tantra dari kemelekatan duniawi yang dianggap sebagai musuh. Bagi mereka, yoga terbaiknya adalah melakukan prosesi trance melalui ganja. Pada perkembangannya, ganja kemudian makin populer sebagai suatu simbol keagamaan Tantra. Di titik ini, ganja disinonimkan dengan nama-nama Boddhisatva yang diyakini dalam Buddha Tantrayana. Dalam mitologi, ganja seringkali disebut sebagai Trailokyavijaya atau wujud ganas emanasi Buddha yang mengalahkan Dewa Siwa dan Parwati. Infografik Mozaik Ganja & Sriwijaya. Simbol Religio-Politik Para Datuk Kedudukan ganja dalam kepercayaan Hindu dan Buddha seperti diuraikan sebelumnya juga berlaku dalam masyarakat Sriwijaya. Sebagaimana disebut oleh George Coedes dkk. dalam Kedatuan Sriwijaya Kajian Sumber Prasasti dan Arkeologi 2014, berdasar informasi yang tersurat atau tersirat dalam prasasti dan tinggalan purbakala lain, para penguasa Sriwijaya lamat-lamat menampakkan ciri penganut Tantrayana. Maka boleh jadi mereka juga punya hubungan erat dengan ganja dalam praktik ritual Tantrayana. Lantas mengapa para datuk Sriwijaya justru mengutuk—atau bisa juga diartikan sebagai bentuk larangan—penggunaan ganja? Dalam konteks Sriwijaya, hal itu agaknya berkaitan dengan simbol religio-politik. Menurut M. Alnoza dalam “Konsep Raja Ideal Sriwijaya berdasarkan Sumber Tertulis” yang diterbitkan di jurnal Jumantara 2020, para datuk Sriwijaya memposisikan dirinya sebagai penganut laku Tantrayana yang sempurna. Para datuk Sriwijaya secara religio-politik berada di puncak hierarki dan tidak dapat disamakan dengan rakyat biasa. Karenanya, mereka memiliki hak istimewa untuk menggunakan ganja dalam ritual Tantrayana. Maka ganja bisa pula disebut sebagai bagian dari simbol politik eksklusif sekaligus simbol keagamaan yang melekat pada diri datuk Sriwijaya. Menilik hal ini, rakyat biasa tentu tidak bisa sembarangan mengonsumsi ganja. Dan melanggar aturan ini, seturut apa yang tertulis dalam prasasti, bisa dianggap sebagai bentuk pemberontakan terhadap sang datuk. - Sosial Budaya Kontributor Muhamad AlnozaPenulis Muhamad AlnozaEditor Fadrik Aziz Firdausi
Mahasiswa/Alumni Universitas Negeri Yogyakarta31 Januari 2022 0924Halo Evamardiana E. Kakak bantu jawab ya. Prasasti yang menjelaskan tentang penaklukan Jambi oleh Sriwijaya yaitu tertulis di prasasti Karang Berahi. Berikut penjelasannya ya. Prasasti Karang Berahi pertama kali ditemukan oleh L. Berkhout di Bangko, Provinsi Jambi pada 1904. Mantan Residen Jambi, Helfrich, menyatakan bahwa pada awal penemuannya, prasasti ini terletak di kaki tangga masjid dan digunakan sebagai ubin pencuci kaki. Prasasti Karang Berahi berangka tahun 608 Saka 686 M. Isi prasasti ini memperjelas bahwa secara politik, Sriwijaya bukanlah negara kecil, melainkan memiliki wilayah yang luas dan kekuasaannya yang besar. Prasasti ini juga memuat penaklukan Jambi. Semoga membantuŸ˜Š
berita tentang penaklukan jambi oleh sriwijaya tertulis dalam prasasti